WARTAMAMUA.ID. SALAKAN– Aksi unjuk rasa yang digelar oleh mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Menggugat di perempatan Pelabuhan Rakyat Salakan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, pada Jumat (29/11/2024), berlangsung ricuh.
Insiden ini melibatkan salah satu oknum anggota Polres Bangkep yang dinilai bertindak arogan terhadap peserta aksi.
Aksi dimulai dengan pembakaran ban bekas oleh mahasiswa, yang juga membawa dua papan kardus bertuliskan “Copot Kapolres Bangkep” dan “Tolak Gamping, Tolak Pilkada”.
Tak lama kemudian, sejumlah anggota polisi tiba di lokasi untuk menanyakan perihal izin aksi tersebut.
Karena dianggap tidak memiliki izin resmi, petugas meminta para mahasiswa untuk membubarkan diri.
Namun, situasi menjadi tegang ketika salah satu anggota polisi terlibat adu mulut dengan mahasiswa terkait izin aksi tersebut.
Menurut mahasiswa, mereka telah mengajukan izin, namun izin tersebut belum keluar.
Perdebatan antara kedua pihak pun terjadi, bahkan diwarnai aksi saling tunjuk dan dorong.
Ketegangan memuncak ketika oknum polisi mengeluarkan perkataan tidak pantas kepada salah satu mahasiswa.
“Bodoh kau,” ucap oknum polisi sambil menunjuk mahasiswa.
Mahasiswa yang merasa tersinggung langsung bereaksi. “Apa, bapak bilang saya bodoh? Ayo sini kita diskusi,” ujar mahasiswa tersebut dengan nada menantang.
Beruntung, insiden ini tidak berujung pada adu fisik setelah berhasil dilerai oleh anggota kepolisian lainnya yang dibantu warga sekitar.
Di tengah aksi tersebut, beberapa warga setempat menyatakan penolakan terhadap unjuk rasa mahasiswa.
Mereka menganggap aksi pembakaran ban berpotensi memicu kebakaran dan mengganggu arus lalu lintas di sekitar pelabuhan.
Situasi kembali memanas ketika sejumlah warga mengejar salah satu mahasiswa yang dianggap bertanggung jawab atas aksi tersebut.
Dalam unjuk rasa ini, mahasiswa menyuarakan beberapa tuntutan. Mereka mendesak pencopotan Kapolres Bangkep, AKBP Jimmy Marthin Simanjuntak, yang diduga tidak netral dalam Pilkada serentak 2024 di wilayah tersebut.
Mahasiswa menilai bahwa Kapolres berpihak pada salah satu pasangan calon (paslon), sehingga merugikan kandidat lain.
Oleh karena itu, mereka menolak hasil Pilkada yang dianggap tidak adil.
Selain itu, mahasiswa juga menyatakan penolakan terhadap rencana investasi pertambangan batu gamping di Pulau Peling.
Mereka menganggap proyek tersebut merugikan masyarakat lokal dan lingkungan.
Salah satu paslon yang diduga memiliki afiliasi dengan investor pertambangan menjadi sasaran kritik dalam aksi tersebut.
Aksi ini menunjukkan eskalasi ketegangan di tengah dinamika politik dan investasi di Banggai Kepulauan, sekaligus menjadi perhatian serius bagi pihak berwenang.**
Discussion about this post